Assalamualaikum warahmatullah
Saya adalah pemilik blog ini.Entri yang ada di bawah ini iaitu TAJALI ALLAH bukanlah sumber asal dari tulisan saya tetapi saya tidak akan copy paste jika saya tidak pernah dikhabarkan tentang sesuatu pengetahuan berkaitan dengannya kerana apa juga pemahaman adalah dengan izin Allah S.W.T.
Tajali
Mengenai tajali Allah,
bisa saja kepada siapa saja. terutama pada rasul-rasul, nabi-nabi, dan
wali-wali-Nya. atau kepada siapapun yang dikehendakiNya. Apabila Allah
bertajalli pada hambanya yang Ia kasihi, maka tangan, kaki, mata, telinga, hati,
dan seluruhnya yang ada diri si hamba adalah tangan dan kaki Allah swt.
Banyak
hadis yang menerangkan perkara ini.
Penyaksian terhadap tajalli-nya Tuhan di dunia, menurut
pendapat kalangan sufi, bisa saja terjadi. Tetapi bukan dengan mata kepala,
melainkan mata hati yang memperolehi Nur
Mukasyafah. Dalam hal ini, yang perlu dicatat adalah penglihatan yang
dimaksudkan, bukan melihat Kunhi Dzat-Nya (keadaan rupa, bentuk atau warna dari
Dzat Tuhan), yang diistilahkan “bi ghairi kaifin wa hashrin wa dlarbin min
mitsalin”. Tetapi pandangan syuhud (mata hati).
Dalam pandangan sufisme Jawa, yang diserap dari ajaran para
Wali, sangat kental keyakinan bahwa Tuhan bertajalli kepada hamba-Nya yang
dikehendakiNya. Karena itu, disusunlah
sebuah doa yang amat ampuh. Doa itu dibaca saat menjalankan tafakur. Pada zaman
Panembahan Senopati Mataram, doa ini diajarkan untuk menjalankan lelaku. Dalam
babad tercatat doa tajalli itu sebagai berikut:
Dalam berdo’a kepada Allah, kita boleh memakai bahasa apa
saja yang dapat kita mengerti dan pahami karena Allah Maha Tahu bahasa
makhluknya apa yang di langit dan di bumi, kecuali dalam shalat kita wajib
memakai bahasa Arab. Hal ini tidak terlepas dari hadits Nabi SAW :“Shalatlah
seperti engkau melihat shalatku”.
Jalan Tajalli
Untuk mencapai Tajalli, diperlukan ketekunan.
Bukan hanya itu, jalan yang harus dilaluinya beberapa lembah dan jurang,
perjuangan demi perjuangan, kesungguhan, lapar dan dahaga, yang diistilahkan
jurang fana, fana-ul fana, fana fillah wa baqa billah. Teori lain
mengistilahkan Takhali, Tahalli, berjalan terus sampai pada Tajalli.
Takhalli adalah pengosongan dari sifat-sifat tercela,
kemudian menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji yang disebut Tahalli.
Pengosongan pikiran dan hati dari segala macam persoalan duniawi dan
menghiasinya hanya semata-mata ‘dzikrullah’ (melihat yang diingat). Pengosongan
dalam arti ‘fana segala yang fana’ hati dan pikiran itu pun fana, lalu terasa
kemanisan, keindahan yang tiada tara. Istilahnya ‘rasa yang tiada berasa’.
Segalanya menjadi jelas, nyata dan terbentang. Itulah
‘mukasyafah’ (pembukaan). Di situlah tajalli Ke-Esa-an, laksana Musa AS yang
sedang pingsan, dan Gunung Thursina pun hancur berantakan. Saking nikmat dam
indahnya, Musa AS. Tidak mampu untuk berbicara, mana Musa? Mana gunung? Mana
Tuhan? Akhirnya seperti apa yang dikatakanoleh Syech Junaid “Hakikat Tauhid
(sebanar-benarnya tauhid) tiada lagi tanya, kenapa dan bagaimana.”
Dialog
Kalau Allah sudah bertajalli, maka tidak sekedar tajalli.
Tetapi terjadi proses dialog antara hamba dengan Dzat Tuhan. Pembicaraan Allah
dengan makhluknya disebut wahyu, untuk para Nabi dan Rasul, dan Ilham bagi
manusia biasa. Ilham tidak bisa dijadikan dasar hukum, karena sifatnya sangat
pribadi (perlu dirujuk kepada Al Quran dan Hadis).
Wahyu Allah kepada Nabi dan Rasul ada dua macam, yaitu
melalui perantaraan malaikat Jibril, yang disebut Al-Quran untuk Nabi Muhammad
SAW, dan wahyu langsung ke hati Rasul, yang disebut hadis Qudsi (firman dari
Allah dan redaksinya dari Rasulullah).
Sedangkan bisikan Tuhan pada hati manusia biasanya (wali),
baik sebagai petunjuk atau perintah, disebut Ilham. Sifatnya pribadi, tidak
untuk disiarkan pada umum. Karenanya tidak boleh diceritakan secara
sembarangan, terkecuali kepada ahlinya (orang yang memahami), orang yang
menggeluti dunia sufi dan memahaminya. Jika diucapkan secara sembarangan, bisa
menimbulkan fitnah dan sangat membahayakan.
Allah bisa saja berbicara kepada makhluk-mahlukNya, karena
bersifat Mutakalim (Yang Maha Berbicara). Jangankan kepada Nabi dan Rasul,
lebah-lebah pun mendapat perintahNya. Membuat sarang dan memproduksi madu di
bukit dan di hutan. Ibu Nabi Musa (Maryam) yang manusia biasa, juga diberi
wahyu, yang isinya petunjuk untuk menghanyutkan bayi Musa ke sungai Nil.
Banyak kisah auliya’ (wali-wali Allah) yang berdialog dengan
Allah. Salah satunya yang terkenal adalah Abu Yazid Al-Bistami. Dalam kitab
Ihya’, Imam Ghazali menceritakan karomah kekasih Allah ini, yang bersumber dari
Yahya bin Muadz.
Yahya berkata kepada Abu Yazid, “Wahai tuanku, tolong tuan
ceritakan pada saya tentang apa saja.” Lalu beliau menjawab: “ Aku ingin
ceritakan padamu apa yang kira-kira baik buatmu. Aku telah Allah masukkan ke
lapisan yang terbawah, lalu ia kelilingkan aku ke alam Malakut yang terbawah itu,
dan Ia perlihatkan kepadaku lapisan bumi dan apa saja pada bagian bawah.
Kemudian Allah angkat dan masukkan aku ke orbit yang tinggi dan Ia kelilingkan
aku di ketinggian (langit) dan Ia perlihatkan padaku surga-surga dan ‘Arasy.
Kemudian diletakkan aku dihadapan-Nya, seraya berkata: “Mintalah kepada-Ku apa
saja, Aku akan berikan untukmu.” Aku pun berdatang sembah; “Ya Tuhanku, apapun
yang aku lihat sudah cukup sudah cukup baik untukku. Lalu Ia berkata: “Hai Abu
Yazid, engkaulah hamba-Ku yang benar, engkau sembah Aku hanya semata-mata
karena-Ku.
Tercatat cukup banyak dialog muhadasta (antara seorang hamba
yang bukan Nabi atau Rasul) dengan Allah SWT. Sebuah hadis Nabi yang
diriwayatkan oleh Imam Buchari dikatakan: “Dari ‘Ady ibni Hatim, beliau
berkata, bahwa Nabi telah bersabda: “Seseorang kamu akan bercakap-cakap dengan
Allah tanpa ada penterjemah dan dinding yang mendidinginya.”
Wassalam: Anugerah [Tulisan Saudara Anugerah]
(+Sumber Asal Dari Wordpress HajiriKhusyuk)